Hubungan Amerika vs Iran dalam Konsep STIFIn

Hubungan Amerika vs Iran dalam Konsep STIFIn

Dunia saat ini dihebohkan dengan perselisihan antara dua negara Amerika vs Iran yang berkoalisi untuk membela kedamaian dunia di Irak. Kedua negara ini sebenarnya tidak memiliki hubungan diplomatik secara khusus. Hubungan keduanya sangatlah rumit dan sulit untuk ditebak serta berubah-ubah dalam jangka waktu yang relatif cepat.

Hubungan Amerika-Iran

Jika dilansir lebih jauh, hubungan keduanya dahulu sangatlah erat. Keduanya bekerjasama dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidang ekonomi, senjata, dan teknologi nuklir. Pada tahun 1968, Iran menandatangani perjanjian Non-Proliferasi nuklir yang mengizinkan Iran memiliki program nuklir sebagai imbalan tidak membeli senjata nuklir. Kemudian terjadi revolusi Iran pada tahun 1979 dimana Syah Reza Pahlevi yang didukung oleh Iran, turun dari jabatannya setelah Ayatulloh Rohullah Khoemeini kembali dari pengasingan, dan ratusan orang Iran menduduki kedutaan besar Amerika Serikat di Teheran, serta menyandera 52 orang yang bertugas disana. Pada masa itu, Iran mengalami revolusi besar-besaran dan mulai menata kembali pemerintahan Iran. Di tahun berikutnya, yaitu 1980 ketika Amerika Serikat dipimpin oleh Jimmy Charter, Amerika Serikat memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Iran akibat dari tersanderanya para staff kedutaan besar Amerika Serikat oleh Iran dan misi penyelamatannya pun gagal pada saat itu. Kemudian, ketika Amerika Serikat berganti kepemimpinan, Iran melepaskan semua sanderaan tersebut tepatnya pada saat kepemimpinan Amerika Serikat jatuh pada Ronald Reagan.

Bukannya semakin membaik hubungan antara kedua negara tersebut, justru semakin buruk. Hingga pada tahun 1984, Iran di cap sebagai negara yang pro terhadap terorisme karena daerahnya yang sangat dekat dengan Irak yang disana terdapat markas besar ISIS. Selain hal tersebut, pembukaan kedok embargo senjata yang melibatkan Israel dalam hal ini dijadikan alat untuk membebaskan para sanderaan Amerika Serikat oleh Iran. Bahkan pada tahun 2002 ketika Amerika Serikat dipimpin oleh George W Bush, menyatakan Iran sebagai salah satu negara yang termasuk dalam “poros kejahatan”.

Hingga pada masa Presiden Barack Obama (Amerika Serikat) yang membuka kembali hubungan diplomatik dengan Iran, karena pada saat itu Iran diketahui memiliki proyek pembangunan situs uranium yang nantinya dapat digunakan sebagai senjata terkuat di dunia, yang juga merupakan incaran negara-negara di dunia. Namun ternyata, hal tersebut menjadikan Iran terkena hukuman, yaitu tertutupnya akses seluruh negara terutama dalam perekonomian, yang menyebabkan merosotnya perekonomian di Iran akibat dari berkurangnya impor minyak Iran.

Hassan Rouhani sebagai presiden Iran pada saat itu yang memiliki tujuan mengembalikan perekonomian Iran dan hubungan dengan negara-negara langsung bertindak. Hassan Rouhani berdiskusi dengan Barack Obama melalui telepon, yang menghasilkan keputusan Iran untuk mengurangi proyek nuklirnya dengan imbalan pencabutan hukuman pada tahun 2013.

Akan tetapi, pada kepemimpinan Amerika Serikat sekarang ini yaitu oleh Donald Trump, Amerika Serikat menarik perjanjian nuklir dan kembali menetapkan hukuman pada Iran. Yang akhirnya Iran pun tidak segan-segan kembali menggencarkan proyek uraniumnya. Dan beberapa waktu lalu, tepatnya pada bulan Juni 2019, Iran menembak jatuh pesawat tak Amerika Serikat dan berhasil juga merebut kapal tank milik Inggris. Kemudian, terjadi serangan ke pangkalan militer Amerika Serikat di Irak yang menewaskan satu warga Amerika Serikat. Amerika Serikat menyalahkan Iran dalam hal tersebut karena Amerika dan Irak ternyata bekerjasama juga dalam memberantas ISIS di Irak serta jarak Irak-Iran yang dekat. Tidak dipungkiri lagi, Amerika Serikat melakukan balas dendam dengan menembak pangkalan-pangkalan militer Iran.

Selain itu, terjadi juga penyerangan terhadap kedutaan besar Amerika Serikat di Iran, yang menyebabkan pembalasan dendam Amerika Serikat pada Iran, yaitu terbunuhnya panglima besar Al-Quds melalui serangan udara Amerika Serikat atas perintah Donald Trump. Hal tersebut memicu kemarahan yang sangat besar, bukan hanya dari pemerintahan Iran, akan tetapi seluruh masyarakat Iran yang masih bahkan semakin memanas hingga saat ini.

Kronologi kejadian

Pada akhir Desember 2019, pasukan Iran yang dipimpin oleh Jenderal Qasem Solaemani meluncurkan serangan ke markas Amerika di Irak, tepatnya pada tanggal 3 Desember. Hal tersebut memicu kemarahan Amerika dan membalasnya dengan penyerangan yang menewaskan Jenderal Besar Iran beserta Wakil Komandannya ketika perjalanan menuju bandara. Akibat dari terbunuhnya Qasem Solaemani tersebut, memicu kemarahan besar Iran dan seluruh warganya, hingga pemimpin tertinggi Iran bersumpah akan melakukan balas dendam atas kematian Panglima Besarnya itu. Kejadian ini memicu kekhawatiran akan terjadinya perang dunia ketiga bagi sebagian negara.

Dilihat dari konsep STIFIn hubungan Amerika-Iran

Kenapa Amerika dan Iran terus-menerus menuai konflik? Jika dilihat dari sejarah dan kacamata Amerika vs Iran dalam Konsep STIFIn, ada yang namanya hubungan sirkulasi saling takluk-menakluk. Dimana Amerika dengan kawasan yang memiliki pohon-pohon besar serta hutan hujan tropis  dan bersuhu dingin, yang membuat gaya hidupnya bagaikan industri, dengan masyarakatnya yang sangat eksklusif dari berbagai kalangan, menjadikan Amerika memiliki tipe Intuiting. Sedangkan Iran, sebuah negara yang kering dan tandus, dibalut dengan hamparan padang pasir yang sangat luas, kemudian sistem dagang yang sangat baik, membuat Iran memiliki tipe Sensing. Dalam hal ini, Iran ditaklukan oleh Amerika.

Kemudian selain itu, Amerika terlihat cenderung menganggap remeh kemampuan Iran, baik dalam hal teknologi, militer, ilmu pengetahuan, dan sektor-sektor lainnya. Hal tersebut dibuktikan dengan pembatalan kerjasama dalam bidang nuklir yang menyebabkan Iran bernegosiasi untuk memotong segala kebutuhan Amerika dari beberapa negara yang masuk dalam perjanjian nuklir tersebut. Ketika Amerika memutuskan, Iran langsung , mengeksekusi upaya balas dendam.

Iran sebagai negara yang bertipe Sensing merasa bahwa kepercayaannya terhadap Amerika untuk berkoalisi sudah dipatahkan dan Amerika dirasa sudah merusak rasa setia dan percaya untuk bekerjasama membela perdamaian dunia.

Amerika yang berkarakter  Intuiting memiliki rencana jangka panjang tanpa melihat keadaan sekitarnya pada saat itu selalu mengambil keputusan yang dirasa oleh banyak pihak itu keputusan yang fatal. Menurut analis militer Connie Rahakundini Bakrie, Amerika telah melakukan kesalahan berat dalam mengambil tindakan balas dendam terhadap Iran dengan menghajar simbol kharismatiknya Iran. Iran sebagai Sensing yang mengetahui bahwa Panglima besarnya telah tewas dengan cepat meluncurkan kembali serangan terhadap Amerika, akan tetapi memang serangan Iran tidak sekuat rudal yang dilancarkan Amerika yang menewaskan Panglima besarnya itu.

Bertubi-tubi ancaman dan hukuman diberikan pada Iran oleh Amerika. Amerika sebagai penguasa dan memiliki kewenangan atas putusan dewan PBB memiliki wewenang untuk memberikan kompensasi bagi negara mana saja yang melanggar termasuk Iran. Iran yang merupakan negara yang kaya, memiliki stok Uranium yang sangat melimpah yang digunakan sebagai bahan bakar nuklir. Pernah pada saat itu, Iran memiliki pasokan Uranium yang melebihi batas hingga akhirnya mendapatkan kompensasi dari Amerika kembali. Karakter Sensing yang dalam konsep STIFIn ini sangat melihat volume dari suatu hal, maka dari itu Uranium yang berlebih yang dimiliki tidak menjadi masalah bagi Iran. Namun, menjadi masalah bagi Amerika yang tidak melihat volume atau kuantitas suatu barang atau jasa, melainkan bagaimana kualitasnya.

Sebagai negara yang bertipe Sensing, dengan kemistrinya yaitu harta, Iran dengan mudah ditawari uang berjuta-juta dolar dari Amerika untuk kapal tangki minyak milik Iran. Dengan hal itu, Iran pun mematuhi apa yang diinginkan oleh Amerika. Tapi hal itu tidak bertahan lama, karena Iran sadar bahwa Amerika telah menipudayakannya dengan uang.

Pada pertikaian beberapa waktu lalu, Amerika melanggar perjanjian dengan menyerang daerah yang didukung Iran, dengan demikian Iran menganggap Amerika telah mendukung terorisme. Hal tersebut dipicu oleh terbunuhnya kontraktor Amerika akibat serangan ISIS. Namun, Amerika menyalahkan Iran. Sehingga terjadilah perhelatan panas hingga saat ini yang belum jelas arah kesepakatannya apakah berdamai atau lanjut untuk berperang. (Shafa Isnanda)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Logo Tes STIFIn (com)

Melayani Tes STIFIn  dengan tujuan untuk mengenali potensi kepribadian diri juga untuk meningkatkan kualitas diri menuju pribadi SuksesMulia.

Sosial Media

Hubungi Kami

Jika ada pertanyaan silahkan kontak nomor yang tertera, tim kami siap membantu.

Tes STIFIn tesedia di seluruh Indonesia dan Mancanegara

© 2022 STIFIn Family, All Rights Reserved.

error: